Historiografi Saudara Dan Kekuasaan

5 minutes reading
Saturday, 3 Aug 2024 06:32 0 1361 Anshar Aminullah
 

Tulisan ini terinspirasi sekaligus mengenang 50 Tahun ditemukannya Makam yang merubah sejarah Cina di Terakota, serta mengenang 56 tahun kematian tragis Politisi Partai Demokrat USA, Robert F Kennedy.

Dalam catatan sejarah agung “Shiji”, pada tahun 259 SM – 210 SM, Kaisar pertama di China Qin Shi Huang setelah menaklukkan keenam kerajaan di Tiongkok untuk kali pertama. Dia memberi perintah kepada kurang lebih 700.000 narapidana dan pekerja paksa untuk dilibatkan dalam proyek makam fantastis ini. Namun seiring perjalanan waktu, situs makam dahsyat ini akhirnya lenyap dari sejarah.

Pada tahun 1974, para petani yang menggali sumur di dekat kota Xian, di provinsi Shaanxi, Tiongkok, menemukan tumpukan patung 8000 prajurit tanah liat terakota, seukuran manusia di tempat yang kemudian ditetapkan sebagai kompleks pemakaman kaisar pertama Dinasti Qin.

Salah satu kuburan yang cukup menarik perhatian adalah sebuah makam di ujung sebelah barat situs bersejarah ini. Sebuah kuburan misterius, yang setelah diteliti lebih mendalam, sepertinya jenasah di dalamnya dimakamkan secara tak layak tanpa kehormatan dan berada dibarisan kuburan rakyat jelata.

Makam ini disinyalir milik putra kedua Kaisar Qin, dikenal dengan nama Kaisar Hu Hai, putra kedua yang mendapatkan kursi kekuasaannya melalui konspirasi yang dipimpin Zao Gao dengan memalsukan surat wasiat beberapa jam setelah sang ayah mangkat.

Agar peralihan kekuasaan ini berjalan mulus, dia memerintahkan prajurit terbaiknya untuk memburu 19 orang saudaranya, untuk selanjutnya dieksekusi secara sadis.

Kekuasaan Hu Hai pun berakhir saat dia tak mampu lagi mengendalikan berbagai pemberontakan di wilayah kekuasaannya dalam dua tahun, dia bernasib naas melalui konspirasi yang dilakukan orang yang sama, Zao Gao.

Kisah ini menggambarkan bagaimana hubungan persaudaraan bisa berakhir tragis ketika hasrat berkuasa lebih mendominasi dibanding merawat ikatan persaudaraan.

Mengkomparasikan Dua Sejarah

Kemajuan peradaban manusia hari ini melahirkan sebuah konsekwesi yang sulit dihindari, bahwa sejarah seringkali tidak selalu linier ataupun dapat terprediksi, dan tindakan manusia acapkali memiliki konsekuensi yang kompleks serta tak terduga.

Rujukan peristiwa lampau perihal bagaimana menjadikan posisi saudara sebagai jalan minim hambatan menuju kekuasaan di era postmodernisme, dimana yang cukup fenomenal salah satunya cerita John F. Kennedy (JFK) bersama saudaranya Robert F. Kennedy (RFK).

(Video Highlight Catatan Dua Sejarah)

Terpilihnya JFK sebagai Presiden Amerika Serikat di tahun 1960 dimana Robert F. Kennedy memainkan peran yang cukup krusial dalam kampanye kepresidenan John F. Kennedy.

Sebagai Master Campign, RFK all out dalam bentuk dukungan logistik, strategis, serta finansial yang dimilikinya. Setelah JFK terpilih, Robert F Kennedy diangkat sebagai Jaksa Agung Amerika Serikat, di mana dia melanjutkan untuk memberikan dukungan kuat kepada saudaranya selama masa kepresidenannya.

Dunia akan selalu mengenangnya sebagai salah satu peristiwa bersejarah bagaimana rasa nyaman di lingkaran paling dalam kekuasaan saudaranya, sehingga RFK mampu memainkan banyak kebijakan dibalik layar, yang kelak di kemudian hari memuluskannya menjadi kandidat Presiden terkuat pasca meninggalnya JFK.

Kisah tentang perjalanan singkatnya menjadi Capres setelah kematian JFK kita skip saja, sebab cukup dramatis ketika harus mengurai bagaimana Robert F Kennedy harus meregang nyawa di tangan pemuda 24 tahun bernama Sirhan Bishara Sirhan yang menembaknya beberapa menit setelah pidato kampanye di Hotel Ambassador, Los Angeles.

Peristiwa Tragis di akhir hayat Kaisar Hu Hai di China, Robert F Kennedy yang tewas tertembak, seolah memberikan penegasan, bahwa ada makna simbolik dari komparasi historiografi kedua peristiwa ini, khususnya bagaimana optimalisasi peran dan poaiai seorang saudara dalam kekuasaan.

Beberapa catatan bijak sebagai Hikmah yang tersirat dan tersurat dalam kedua peristiwa di atas, yakni :

Pertama, jika memanfaatkan circle kaum elit dengan memusatkan kontrol menuju jalan berkuasa, maka akan ada potensi terjadi apa yg di istilahkan Durkheim (1935) sebagai penyatuan populasi dengan suara hati masyarakat dan suara hati kolektif.

Dan penyatuan itu jelas akan mendapat ruang yang sangat mendukung dalam dua jenis solidaritasnya Durkhiem (Mekanik dan Organik). Pada prinsipnya situasi ini sangat menguntungkan bagi mereka yang memiliki kekuatan finansial lebih.

Kedua, dalam pendekatan kearifan lokal Bugis-Makassar, tak ada yang boleh “La Borro (merasa paling perkasa) dan La Jago (merasa tidak ada lawan)” dalam aktivitas meraih ataupun mempertahankan kekuasaan. Jika tak saling ‘menghabisi’ sesama saudara, maka ending dari pemaksaan situasi agar saudaranya bisa menguasai hajat hidup orang banyak dalam kursi kekuasaan, itu akan selalu berakhir secara tragis.

Upaya La Borro dan La Jago dalam kekuasaan juga harus disadari bersama sebagai upaya perakitan ulang nepotisme dan dinasti namun dengan wajah yang berbeda.

Pada peristiwa yang diurai singkat di atas, tetap memiliki nilai kejut tersendiri. Selain di setiap tokoh utama tetap tak mampu menentukan takdir mereka sendiri, juga di setiap nama tokoh yang tersebut di atas, kita seperti menyaksikan sebuah aktivitas penyikapan nilai, kebudayaan, politik, serta hukum, yang telah hampir kehilangan kemungkinan untuk menemukan kediriannya yang utuh pada kutub kebaikan.

Namun yang jelas, menjadi tugas utama kita sekarang ini adalah memikirkan agar tetap lahir sebuah kesadaran dari arah depan yang selalu menjadi sumber nilai yang tetap jelas. Dan pada akhirnya, spirit pada kisah awal dan akhir berkuasanya Hu Hai serta kisah pengendalian di balik layar Robert F Kennedy dapat berevolusi menjadi energi sejarah yang positif bagi generasi sekarang dan yang akan datang.