Beberapa hari ini, salah seorang sahabat saya sangat bahagia. Pasalnya sederhana, Bupati pilihannya yang berkumis tipis juga telah dilantik. Padahal kampanyenya jelang pemilihan hanya bermodal kuota data beberapa megabite saja.
Sebuah caption ringan jelang 4 November 2024 di status WhatsApp nya “Jika pilihanmu di TPS calon Bupati yang berkumis, maka pertahankan pilihanmu, karena dia dari golongan Lele bukan buaya”. Sederhana namun mampu menggambarkan kepada para pemilik suara betapa estetik dan artistiknya calon Bupati pilihannya.
Semua mata berfokus pada pelantikan para pemenang di Pilkada serentak 2024 beberapa hari lalu. Riuh predator ganas menyerang cucu dan pawangnya di kawasan wisata Cimory berubah menjadi sedikit hening. Buaya dan senyum sumringah Bupati dan wakilnya pasca dilantik, menjadi peristiwa yang menghiasi jagad maya disetiap scroll halaman gawai di genggaman kita.
Pelantikan ini tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi para tim sukses yang telah berjuang meraih simpati dan dukungan. Ibarat film, sampai pada ending yang klimaks. Dimana pada part awalnya, ada adegan musuhan 5 tahun antar tetangga yang baru saja dimulai.
Pada part pertengahannya banyak diisi dengan drama serangan fajar. Dan di part akhir, semua berakhir indah pasca penetapan KPU Kabupaten/ Kota plus finishing di prosesi pelantikan serentak oleh Presiden.
Buaya Politik, Politik Buaya
Ada dua tokoh yang pernah menyeret ‘buaya’ menjadi persona di dalam dunia politik. Masih ingat dengan kalimat “Mana ada Jawa, dan bupati pula, bukan buaya darat?” sebuah kalimat sindiran dalam novel Bumi Manusia karya epik Pramoedya Ananta Toer.
Dalam Tetralogi Buru. Novel ini menjadi bagian pertama yang menceritakan sisi lain dari kehidupan seorang Minke, dia adalah seorang pribumi cerdas yang berusaha melawan ketidakadilan di jaman kolonial Hindia Belanda.
Di kesempatan terpisah pada ruang yang berbeda, Winston Churchill dalam “The Rise of Western Germany” karya Aidan Crawley, mengungkapkan bahwa “Mencoba mempertahankan hubungan baik dengan seorang komunis sama saja dengan merayu buaya. Anda tidak tahu apakah harus menggelitiknya di bawah dagu atau memukulinya di atas kepala. Ketika mulutnya terbuka, Anda tidak dapat memastikan apakah ia mencoba tersenyum atau bersiap untuk memakan Anda.”
Churchill menggunakan metafora dalam menggambarkan betapa berbahayanya ‘buaya’ ini meski dalam dimensi berbeda bernama dunia politik.
Andai saja saudara-saudara kita yang berada di kolam khusus di Cimori beberapa hari lalu mencoba sejenak merenungkan kalimat dari Churchill, mungkin hari ini mereka tak akan kebingungan mencari biaya operasi untuk penanganan lanjutan cidera serius di bagian tangan pawang naas ini.
Dan andaikan saja pawang dan para ‘cucu’ bernyali dari predator ini lebih memilih menenggelamkan diri dalam kalimat Pramoedia Ananta Toer, mungkin timeline dan status WhatsApp mereka sudah dihiasi gambar senyum ceria para Bupati bersama wakilnya yang baru saja resmi dilantik di Ibukota yang hampir saja dimadu oleh IKN.
Cerita sedikit berbeda dengan salah seorang politisi senior kita yang beberapa hari lalu telah resmi di tahan oleh KPK, bisa jadi beliau jauh-jauh hari juga telah membaca berulang kali kalimat dari Winston Churchill, dan telah siap dengan segala konsekwensinya berupa terkaman balik berujung jeruji besi.
Keramat Yang Keliru
Aqidah menjadi kata yang menstimulus kepala kita pasca perilaku unik di areal wisata Cimory Gowa ini. Sehingga membuat kita mau tak mau harus flashback dan mengingat kembali definisi agama yang dipakai jauh sebelum peristiwa yang terbentuk melalui aktivitas manusia.
Dalam penegasan Peter L Berger bahwa ini adalah sebuah tatanan keramat yang melingkupi-segalanya, yaitu suatu kosmos keramat yang akan mampu mempertahankan dirinya dihadapan kekacauan yang selalu menghadang (1966).
“Pun jika seseorang melakukan manipulasi dan janji politik yang sulit dia penuhi, mungkin karena ia tidak memiliki kemungkinan lain di tengah atmosfer sistemik, yang mainstream budayanya memang penuh manipulasi dan kebohongan”.
Anshar Aminullah
Setiap masyarakat kita yang menyaksikan adegan konyol mengelus predator ganas tanpa pengaman,
menjadi salah satu produksi takhayul manusia secara berkelanjutan dan keramat yang dimaknai secara keliru.
Bahkan hal ini tetap terawat secara terus-menerus dengan menganggap kekuatan-kekuatan eksternal dari manusia tak serta merta bersumber hanya pada satu Tuhan saja.
Jika seseorang melakukan pesugihan dan sesembahan pada buaya, bisa jadi itu merupakan produk dari ketimpangan kondisi perekonomian kita selama ini. Mungkin saja mereka adalah imbas dari kebijakan makan siang gratis bagi anaknya, sementara sang orang tua harus rela diputuskan kontraknya oleh karena pemangkasan anggaran di instansi tempatnya bekerja.
Pun jika seseorang melakukan manipulasi dan janji politik yang sulit dia penuhi, mungkin karena ia tidak memiliki kemungkinan lain di tengah atmosfer sistemik, yang mainstream budayanya memang penuh manipulasi dan kebohongan.
Dan oknum kontestan pilkada yang melakukan kebohongan publik, kecurangan saat pilkada, money politik, dan sebagainya. Bisa jadi karena kondisi kepribadian dan moralitasnya memang secara bertahap telah mengalami pelemahan serta dihancurkan oleh kondisi lingkungan yang hanya memberikan pilihan semacam itu.
Kita berharap Seluruh Bupati/ Walikota bersama wakilnya di Sulsel ini, mampu menjadi pemimpin yang memiliki pengetahuan tentang budaya dini dari para pendiri bangsa ini.
Dimana itu akan mampu membuka tafsir-tafsir merdeka pada imajinasi dan asosiasi pemikiran mereka agar jauh dari sifat ‘predator’ yang memangsa APBD demi kepentingan pribadi, serta menjadi ‘buaya’ yang sewaktu-waktu menerkam para lawan politiknya dan memutasi mereka berdasarkan like it or not like, bukan berbasis kemampuan SDM dan Kinerjanya.
Harapan besar juga pada pasangan yang segara akan berkantor ini, agar tak fokus pada konsentrasi primernya untuk memastikan segala komponen bisa dia pegang untuk kepentingan periode berikutnya.
Ini bukan kritik, ini hanya semacam ungkapan peduli dari rakyat yang telah rela bangun pagi dan antrian di TPS demi memilih para pemenang, dan memastikan merekalah yang paling layak, paling unggul ilmu serta wawasan kebangsaanya, paling kredibel kinerjanya, paling bermutu leadhershipnya.
Bahkan paling diridhoi oleh Allah dan direstui oleh semua makhluk-makhluk Allah non manusia (untuk sementara minus buaya Cimory).
Artikel ini telah tayang lebih awal di media :
https://makassar.tribunnews.com/2025/02/23/buaya-dan-senyum-bupati-se-sulsel