Sejak kapan dalam ingatan masa lalu kita didoktrin bahwa ijazah itu sangat penting agar kita tak tergilas oleh zaman?
Yap….! sepertinya sejak usia dini. Bahkan pola yang dibangun dalam mindset kita ijazah itu bukan tentang bagaimana menjadi orang pintar, tetapi ini soal pembuktian bahwa kita mampu bertahan dan menyelesaikan apa yang telah kita mulai.
Bahkan setelah lulus pun pada akhirnya kita menjadi paham dan mendapati kenyataan hidup yang sebenarnya, bahwa Ijazah menjadi sebuah awal, bukan akhir. Maka di dunia kerjalah yang akan menguji kita, apakah ilmu yang telah dipelajari benar-benar bermanfaat dan mampu merubah banyak hal, baik secara personal maupun untuk umat.
Di negeri kita di era sekarang ini, mau tak mau dan harus di akui, bahwa kualifikasi pendidikan dan kecakapan intelektual dominan sangat berpengaruh bagi karier seseorang.
Meskipun kadang tergelitik rupanya “Ijazah adalah tanda pernah bersekolah bukan tanda pernah berfikir”. Kalimat yang sangat familiar di telinga kita saat menonton aksi debat salah seorang pengamat di layar TV ataupun di layar Handphone.
Namun perlu dicatat, bahwa andai ijazah menjadi syarat wajib, mungkin kita tidak akan pernah menikmati setiap alur dan detail pemikiran Socrates. Sejarah akan selalu mencatat, bagaimana Socrates sebagai filsuf besar Yunani.
Dia tidak memiliki pendidikan formal bernama sekolah resmi yang mengharuskan ikut ujian Ebtanas, atau Ujian Nasional, ataukan harus ikut ujian persamaan untuk mendapakat ijazah Paket A, B ataupun C.
Dia justru berhasil mengajarkan filsafat, kadang melalui dialog di jalanan ataupun di pasar, dan pemikirannya masih terus terawat serta diwarisi lintas generasi di berbagai penjuru dunia hingga detik ini.
Putusan Mutlak
Putusan Mahkamah Konstitusi telah jatuh palu. Tak ada lagi yang mampu diperbuat selain menerimanya. Sebab di negara demokrasi ini kadang putusan MK itu menjadi ‘kebenaran tunggal’. Mahkamah Konstitusi lah satu-satunya yang berhak memutuskan nasib akhir perjuangan politik kita.
Kalau ada yang nekad tidak mau berjalan diatas putusan tersebut, maka kekecewaannya itu tidak akan pernah tertulis resmi dalam lembaran konstitusi negara.
Apatahlagi kondisi bangsa kita ini cenderung berada pada kondisi ketidaksanggupan untuk menyangga nilai-nilai yang paling elementer. Sehingga mau tak mau ditengah keterbatasan kita “Samina wa athona” adalah pilihan terbaik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan bertanggal 24 Februari 2025 untuk sengketa Pilwali di Kota Palopo ini, menyiratkan sebuah pesan bahwa kecerdasan dan bakat saja tidak selalu cukup untuk sukses di dunia politik, tanpa pengakuan dari otoritas yang berwenang bernama ijazah sah dan resmi.
Memiliki dengan sah selembar kertas milik negara itu menjadi hal yang penting. Sebab mungkin saja kita jarang membutuhkan yang namanya “Ijazah Kehidupan”. Semacam tanda dari output pendidikan Non Formal, yang mengajarkan Ilmu yang didapat dari kehidupan sehari-hari kadang jauh lebih berharga dari apa yang diajarkan di sekolah selama ini.
Ijazah kehidupan ini juga mengajarkan kita bahwa setiap kesulitan, rintangan, dan keberhasilan adalah pelajaran yang akan membentuk karakter seseorang. Dan melalui ijazah kehidupan membuat seseorang memilki ketahanan dan kebijaksanaan, karena terbiasa mengalami pasang surut kehidupan sehingga mampu belajar dari kesalahan dan menggunankannya menuju versi terbaik dari dirinya.
Ijazah Itu Bernama Trisal
Kami tidak saling mengenal bahkan tak pernah bersua langsung dan tak langsung. Namun saya percaya, bahwa apa yang menimpa Trisal ini menjadi potret nyata dalam beberapa segmen kehidupan kita. Bahwa laju anak bangsa untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya, amat sering terhambat karena faktor ijazah. Demikian pun laju putera-puteri negeri ini untuk memperbaiki arah demokrasi kita, acapkali juga dihambat dengan alasan ijazah.
Publik mungkin akan lebih berfokus pada ketidak absahan ijazahnya, dengan mengabaikan banyak hal positif dari seorang Trisal. Kita menjadi lupa bagaimana masa lalu seorang Trisal Tahir justru telah menjadi pelajaran hidup penuh hikmah bagi anak-anak kurang mampu di negeri ini. Dia bukan lahir dari keluarga yang hari ini bisa memilah dan memilih menu apa yang enak dan maknyus untuk dihidangkan.
Trisal Tahir berjuang dari minus, itu karena qadarullah menakdirkannya lahir dari keluarga yang kurang mampu. Dia bukan dari keluarga yang dengan mudah memberikan tongkat estafet kekayaan dan modal besar untuk melanjutkan kekuasaan orang tuanya.
Ironisnya publik mengabaikan hal itu. Kita mungkin lebih banyak menertawai dia, hanya karena tak punya ijazah produk pendidikan resmi yang layak untuk menjadikannya Kepala Daerah. Kita menghakiminya seolah-olah dia pesakitan, yang hadir ditengah orang-orang terdidik, untuk ikut bersaing dalam kapasitas rendahan pada level pendidikan.
“Trisal Tahir boleh terhambat di ijazah, namun dia telah menjadi ijazah kehidupan bagi anak negeri yang tengah berjuang hidup demi harga diri keluarga, masa depan bangsa terlebih bagi kemajuan dan kesejahteraan kampung halamannya.”
Anshar Aminullah
Atau jangan-jangan segelintir orang yang mengejek eksistensi Trisal berdasarkan basic pendidikannya adalah pekerja buta sejarah. Yakni semacam pejalan-pejalan non struktural, pelaku mekanisme kenyataan, yang tak mengerti persis apa isi dunia.
Sehingga memiliki pikiran yang jauh dari strategis, minim etika, saat harus menerjemahkan konversi etika berpolitik ke dalam aktualisasi realistik.
Kita perlu kuatir, Jangan-jangan keberhasilan menghambat laju Trisal karena faktor keabsahan pendidikan, ini justru menjadi awal kegagalan mendorong laju spirit Trisal-Trisal cilik lain yang bernasib sama di berbagai penjuru negeri ini.
Sesungguhnya apa yang telah dicapai dan mengantarkan Trisal di puncak kemapanan dan kelapangan rezeki, telah sanggup membuka mata anak-anak bangsa dari kalangan tak mampu, untuk bisa bangkit dan tak boleh kehilangan asa dalam merawat mimpi-mimpi besar dibalik segala keterbatasan
Trisal Tahir boleh terhambat di ijazah, namun dia telah menjadi ijazah kehidupan bagi anak negeri yang tengah berjuang hidup demi harga diri keluarga, masa depan bangsa terlebih bagi kemajuan dan kesejahteraan kampung halamannya.
Tulisan ini juga telah terbit lebih awal di media :
https://herald.id/2025/02/25/ijazah-kehidupan-itu-bernama-trisal/