“Mereka yang tidak mengingat masa lalu, akan dikutuk untuk mengalami peristiwa yang sama”.
Demikian pepatah bijak dari George Santayana. Spirit dari kalimat bijak yang berasal dari filsuf ini, membuat kata-kata tersebut kini menjadi bagian dari filsafat sejarah. Hal ini menunjukkan bahwa manusia akan cenderung mengulangi pola kesalahan, konflik, dan peristiwa dalam berbagai konteks pada zaman yang selalu berbeda.
Saat Argentina mengingat Messi dan Maradona, rakyat Argentina juga akan selalu mengingat Juan Perón dengan istrinya, Eva Perón yang akrab dipanggil Evita. Sang suami adalah Presiden Argentina, dimana Evita menjadi figur yang sangat populer di kalangan rakyat karena konsistensinya berjuang bagi kaum miskin.
Di tahun 1951, Juan Peron dengan ambisinya menginginkan Evita menjadi Wakil Presiden, dengan target mungkin suatu hari akan dengan mulus dia dorong maju menggantikannya sebagai seorang Presiden.
Namun mirisnya, Evita mendapat perlawanan keras dari kelompok militer dan sekelompok politisi elit yang menolak seorang calon perempuan dengan latar belakang aktris untuk menjadi penguasa di negeri Tim Tango ini. Evita Peron akhirnya meninggal karena kanker sebelum bisa mencalonkan diri.
Rencana yang sama juga dipersiapkan seorang Laurent Gbagbo bersama istrinya Simone Gbagbo di negara Pantai Gading. Laurent Gbagbo adalah Presiden Pantai Gading sejak 2000 hingga 2011. Dia mencoba membangun basis kekuatan untuk sang istri, Simone Gbagbo yang kemudian kalah dalam pemilu di Tahun 2010.
Sang Presiden bahkan menolak untuk mundur, dan akhirnya ditangkap. Naas bagi sang istri, Simone. Dia pun dipenjara karena tuduhan keterlibatannya dalam rangkaian konflik politik.
Peristiwa di atas cukup identik dengan menggunakan pendekatan teoritik “Glass Ceiling Theory” milik Marilyn Loden (1978). Bahwa ada resistensi tak kasatmata (invisible barriers) yang cenderung menghalangi perempuan untuk mencapai posisi Top Leader atau kepemimpinan tertinggi, baik di dalam dunia kerja maupun dalam dunia politik, meskipun mereka memiliki kualifikasi SDM mumpuni yang selevel atau bahkan lebih baik dibanding kaum pria.
Marilyn Loden menambahkan hadirnya situasi Dilema Peran Ganda, dimana perempuan seringkali menghadapi sebuah tuntutan double, berupa peran profesionalisme dan peran domestiknya di dalam keluarga, peran ganda ini dianggap sangat berpeluang menghambat kemajuan karier mereka.
Sehingga amat sulit menghindari stigma bahwa perempuan yang ambisius dalam karier biasanya kurang memperhatikan keluarga.
Kondisi inilah yang pada akhirnya membuat banyak calon pemimpin dari kaum Hawa, menghadapi tantangan yang cukup berat dibanding kaum Adam terutama di negara dengan budaya patriarki yang cukup kuat.
Rentetan Kekalahan
Masih segar di ingatan kita, Wakil Gubernur Sulsel 2024-2029 pernah mengalami momen penuh hikmah di pilkada Sidrap di tahun 2018 silam. Berstatus sebagai istri petahana kala Itu, adalah Fatmawati Rusdi pernah mencoba peruntungan dengan berpasangan Abdul Majid dalam Pilkada Sidrap. Namun pada akhirnya, mereka harus mengakui keunggulan Dollah Mando-Mahmud Yusuf dalam proses pemungutan suara yang cukup sengit.
Pada Pilkada serentak 2024 Sulsel, ada dua peristiwa di tema yang sama yang hingga hari ini tensi politiknya masih menuju ke titik nol.
Pertama, Indira Yusuf Ismail, istri Wali Kota Makassar, Danny’ Pomanto, mencalonkan diri sebagai Wali Kota Makassar dalam Pilwali 2024 harus menerima kenyataan berada di posisi ketiga dimana kemenangan berpihak pada pasangan Munafri Arifuddin dan Aliyah Mustika Ilham.
Kedua, ada Erna Rasyid Taufan, istri Wali Kota Parepare periode 2013–2023, Taufan Pawe, mencalonkan diri sebagai Walikota Parepare dalam Pilwada 2024 dan harus mengakui kemenangan Tasming Hamid dan Hermanto.
Dibeberapa sample kasus yang sama di berbagai Kabupaten/Kota lainnya Di Pilkada 2024, sebut saja pada sosok Nanda Indira Dendi, istri Bupati Pesawaran, Dendi Ramadhona. Dia mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Pesawaran dalam Pilkada 2024. Namun harus mengakui kemenangan Aries Sandi Darma Putra dan Supriyanto.
Meski belakangan Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan untuk mendiskualifikasi Aries Sandi oleh karena persoalan ketidak keabsahan surat keterangan pendamping ijazah (SKPI), MK juga memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Ada juga Ita Triwibawati, istri dari mantan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman. Mecoba peruntungan dengan mencalonkan diri sebagai Bupati Nganjuk. Namun di perolehan suara terakhir hanya menempatkan pasangan Ita Triwibawati -Zuli di posisi ketiga.
Terakhir, ada Septi Heri Agusnaeni, istri Bupati Pesisir Barat, Agus Istiqlal. Dia mencalonkan diri sebagai Bupati Pesisir Barat dalam Pilkada 2024, berpasangan dengan Ade Abdul Rochim. Dengan ikhlas dia tetap harus mengakui keunggulan pasangan Dedi Irawan dan Irawan Topani.
Rentetan kekalahan sang Istri yang dipersiapkan sebagai suksesor sang suami berstatus Bupati, mempertegas bagaimana proses rencana peralihan tongkat estafet keberlanjutan kekuasaan, itu tak semudah yang diharapkan, dan tak selancar seperti apa yang kadang diniatkan.
Peristiwa kekalahan ini juga seolah menjadi sebuah tatanan yang saling berpadu, dimana kondisi-kondisi awal dengan intensi yang implisit, menjadi sebuah relasi makna yang terapresiasikan lewat interpretasi sederhana di uraian di atas bukanlah relasi kausalitas. Alasannya sederhana, ini dikarenakan jarak dan karakteristik yang berbeda di setiap daerah, meskipun statusnya dilaksanakan serentak pada waktu yang sama di 27 November 2024.
“Kita mungkin sebaiknya jangan mempertegas stigma awal bahwa suara di pemilihan ulang kali cukup mahal harganya, ini tak baik bagi demokrasi dan tak baik sebagai sebagai warisan nilai bagi generasi.”
Anshar Aminullah
Pilwali Palopo Pasca MK
Putusan Mahkamah Konstitusi akhirnya mendiskualifikasi Walikota terpilih Trisal Tahir dan memerintahkan pelaksanaan Pemilihan Suara Ulang (PSU). Pasangan pemenang menyisakan calon Wakil Walikota.
Uniknya, hanya terpaut beberapa jam setelah putusan MK, gambar Istri dari Trisal Tahir, Naili, menghiasi dunia maya dengan label akan menjadi calon Walikota pengganti disisa waktu pendaftaran 8-10 Maret ini.
Pergantian dengan mendorong figur istri sang Walikota yang tak sempat dilantik ini, setidaknya memberikan garansi aman bagi para pendukung, dari kemungkinan tersandung persoalan yang sama bernama terdiskualifikasi.
Dari data yang tertera di lifleat di berbagai postingan medsos, status semester 4 di Fakultas Psikologi pada salah satu PTS setidaknya cukup mempertegas status akademiknya sedang dalam proses menuju jenjang Sarjana di level Strata Satu.
Status mahasiswa ini juga membuat penasaran mantan teman satu kost saya di jaman kuliah, sosok yang kerap mengirim duren dari tanah Luwu, dengan gaya sedikit usilnya merambah dan melihat laman resmi PDDikti dan mendapati identitas yang mirip sebagai Mahasiswa baru yang masuk 1 September 2024, juga sebagai peserta didik baru dengan status non aktif di semester genap ini.
Namun kelihatannya walaupun kampus dan fakultasnya sama, tapi rupanya teman saya ini sepertinya salah search identitas.
Memang hal yang tidak apple to apple, jika hendak menyandingkan kualifikasi jenjang pendidikan apatah lagi dibanding-bandingkan dengan pasangan posisi peraih suara runner up.
Dimana untuk cawalinya saja tidak hanya bergelar Doktor namun pasangan wakilnya juga adalah CEO dari Kampus yang telah mencetak ribuan sarjana.
Tapi publik tetap saja punya hak untuk menilai kualitas intelektual dan kemampuan manajerial calon pemimpin yang akan mereka pilih.
Momentum politik ini tentu tetap saja selalu menarik, apatahlagi jika dilihat sebagai persoalan persaingan kekuatan finansial untuk maintenance tim, dalam bekerja di lapangan sekaligus merangkap sebagai ikhtiar perjuangan politik.
Di dalam perjuangan politik, sebagaimana di dalam persaingan ekonomi, Paslon yang terbaik yang akan menang, yaitu, mereka yang paling bermutu dalam intelegensinya, keberaniannya, kekuatannya, kelihaiannya’, dan kemampuannya dalam bekerja secara tim.
Kemenangan akan selalu berpihak pada orang yang paling mampu menjamin pemuasan kepentingan umum melalui permintaan silang antara kepentingan pribadi yang kadang disalah tafsirkan dalam bentuk sembako dan amplop di serangan fajar.
Kita mungkin sebaiknya jangan mempertegas stigma awal bahwa suara di pemilihan ulang kali cukup mahal harganya, ini tak baik bagi demokrasi dan tak baik sebagai sebagai warisan nilai bagi generasi.
Jika pada akhirnya, ada seseorang memaksakan situasi dimana dia nekad berhadapan dengan potensi sejarah berulang dari kisah kekalahan para istri dan perlawanan keras barisan pengagum level intelektual.
Mungkin itu menjadi saat yang terbaik, untuk kita mengingat kembali apa yang pernah diungkapkan oleh Karl Marx “History repeats itself, first as tragedy, second as farce.”, bahwa Sejarah berulang, kali pertama sebagai tragedi, yang kedua sebagai lelucon.
Lantas seberapa siapkah kita untuk menangis atas peluang kembali tertimpa tragedi atau bahkan tertawa terhadap kemungkinan terjadinya lelucon ini di 24 Mei nanti??
Tulisan ini juga telah terbit lebih awal di :
https://herald.id/2025/03/08/dari-suami-ke-istri-belajar-dari-trend-kekalahan-suksesor-bupati/