Isbat Kemenag dan Aroma Ketupat An-Nadzir: Sami’na Wa Atho’na

4 minutes reading
Tuesday, 1 Apr 2025 22:17 0 1313 Anshar Aminullah
 

Satu-satunya hasil putusan sidang di awal tahun ini yang tak akan pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi, atau di Judicial Review ke Mahkamah Agung, apatahlagi akan di pra peradilankan ke PTUN oleh ormas dan umat, adalah keputusan Sidang Isbat Kemenag RI.

Di awal ramadhan dan di penghujung ramadhan, sidang isbat ini memang menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu. Saya masih ingat, di awal ramadhan tahun ini, saat saya singgah di salah satu masjid dalam perjalanan hendak pulang kampung di sahur pertama.

Saya hanya bisa pasrah kepada Allah perihal jumlah pahala yang akan diganjarkan pada shalat sunat saya beberapa menit setelah salam, pengurus masjid di mimbar menyampaikan, agar hadirin bersabar 20 menit lagi, bahwa hasil sidang isbat akan segera memutuskan, apakah malam ini jamaah boleh taraweh untuk malam pertama.

Putusan sidang isbat ini selalu diterima umat dalam mode “sami’na wa atho’na”. Pun jamaah taraweh dan kumpulan remaja masjid tim sahur on the road, secara totalitas kadang-kadang taklid dalam posisi “kami mendengar dan kami taat”.

Sidang isbat ini juga berimbas pada jamaah cilik kita. Mereka yang telah siap dengan buku kegiatan ramadhannya. Sebuah kegiatan penuh kenangan yang berdasarkan wawasan basic keislaman mereka, bahwa mengumpul tanda tangan ini hanya sebuah titik awal dari perjuangan kejujuran yang wajib mencantumkan tanda tangan asli, bukan dengan memalsukannya.

Ini juga awal dari totalitas kemurnian mereka dalam beribadah, yang jauh dari sifat ‘oplosan’ konyol Pertamax milik Pertamina.

Dan orientasi ibadah mereka pun, bukan sekedar gebyar dikalangan mereka sendiri, melainkan fungsi komprehensifnya dengan seluruh kegiatan non formal di bulan ramadhan yang luas makna dan luas hikmah yang akan dipetik di masa depan.

 

Lebaran Lebih Awal

Sidang Isbat Kemenag seperti biasanya, dimana tiap tahunnya masih terkadang berbeda waktunya dengan putusan internal Jamaah An- Nadzir, baik awal maupun akhir ramadhan.

 

“Eksistensi dan konsistensi An-Nadzir justru lebih menegaskan posisi mereka sebagai pekerja sejarah kebesaran Islam yang nyata. Mereka adalah pengembara non struktural diluar dari struktur kementerian agama.”

Anshar Aminullah

 

 

Aktivitas ramadhan lebih awal dari An Nadzir ini, bisa jadi hasil dari ikhtiar menginternalisasi makna-makna dari fenomena-fenomena dalam pengalaman komunitas religi mereka.

Keputusan di lingkup komunitas An Nadzir, tentu dilandasi dengan pengalaman-pengalaman yang tak hanya selalu diisi dengan ritual-ritual yang melibatkan suatu teodisi implisit.

Mereka tidak pernah memaksakan hasil putusan awal dan akhir ramadhannya. Bisa jadi selain sebagai salah satu kesadaran keagamaan yang lahir dari keinsyafan keilahian,

ini juga telah menjadi semacam ‘ritual’ sosial yang telah mentransformasi pengalaman komunitas religinya dalam suatu kasus tipikal, menjadi suatu episode saling menghargai dalam sejarah sosial kemasyarakatan kita kelak.

Eksistensi dan konsistensi An-Nadzir justru lebih menegaskan posisi mereka sebagai pekerja sejarah kebesaran Islam yang nyata. Mereka adalah pengembara non struktural diluar dari struktur kementerian agama.

Mereka menjadi pelaku-pelaku mekanisme kenyataan yang juga tetap mengerti bagaimana untuk tetap produktif dunia-akhirat, sehingga tetap mempunyai pemikiran strategis dan mendasar, saat mengkonversikan terjemahan keIslamannya dalam aktualisasi realistik.

 

Kemenangan Universal

Lebaran 30 ataupun 31 Maret seyogyanya tidak menjadi pemisah dalam hubungan sosial kita. Bulan puasa ini haruslah berhasil mendidik kita, bahwa salah satu nilai utamanya adalah menjadikannya sebagai prinsip dasar dalam menjalani hidup.

Mulai dari menahan diri, mengendalikan, menyaring segala macam yang bisa merusak tatanan sosial-keagamaan di negeri ini.

Tak perlu ada perdebatan panjang soal beda hari lebaran. Bahkan kita mungkin justru harus berterima kasih kepada Jamaah An-Nadzir, sebab telah menjaga keseimbangan kosmologis dan keselamatan hidup alam semesta melalui konsistensi mereka dalam memuja dan memuji Allah Swt melalui ibadahnya.

Selama ini mungkin kita tak mampu menahan diri dari mengkonsumsi setiap makanan enak secara berlebih. Usus kita perlu bermeditasi, urat syaraf kita perlu bersabar, perut kita perlu taat akan anjuran agama.

Pikiran kita pun perlu pengendalian diri, sebab ini akan menarik harkat hidup manusia menuju nilai-nilai hidup sejati yang di ridhai oleh Allah Swt.

Mari kita tingkatkan kepekaan sosial kita, sebab dengan sensibilitas ini akan mendorong menaiknya level Idul Fitri kita. Selebihnya, biarkan aroma ketupat dan buras yang menyatukan ‘uforia’ kemenangan universal kita di 1 Syawal ini.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd.

 

Artikel ini telah tayang lebih awal di media :

https://makassar.tribunnews.com/2025/03/30/isbat-kemenag-dan-aroma-ketupat-an-nadzir-samina-wa-athona