Di suatu malam jelang waktu isya, tiba-tiba kawan sekampung saya ini memulai pembicaraannya. Tak biasanya kuah baksonya melimpah, dia sepertinya memang niatan mengungkapkan sesuatu sekaligus mendiskusikannya sembari saya menyantap bakso jualannya yang selalu laris manis setiap harinya.
Cika’…. ada yang saya mau cerita ini! demikian dia memulainya. Dia lantas menceritakan soal ketakmampuan memasukkan di akal sehatnya perihal angka Rp. 800 Juta untuk dipakai mendaftar agar lolos di sebuah instansi. Itu bukan angka sedikit katanya.
Lagian kita bisa memakainya untuk berbisnis saja, bisnis itu bahkan jauh lebih halal dan lebih menguntungkan khan? dengan nada yang cukup terbata-bata sembari dia menghisap rokoknya dalam-dalam.
Anak-anak kita tak boleh diajarkan dengan aktivitas nihil nilai bernama uang pelicin itu tutupnya. Dia lantas berdiri melayani pengunjung warungnya, sambil sesekali geleng-geleng kepala, pertanda dia masih memikirkan topik pembicaraan kami.
Miskin Moral Nihil Nilai
Keresahan Erik daeng Ngaya si penjual bakso dengan pelanggan dari segala lapisan dan strata sosial ini wajib digaris bawahi. Stigma “Backingan dan Orang Dalam” di dalam masyarakat kita ketika hendak mendaftar di instansi pemerintah amat sulit dihapuskan.
Meskipun pemerintah kita telah berkali-kali menegaskan melalui berbagai media, dari cetak, online, layar kaca hingga media sosial, bahwa pendaftaran ini tidak dipungut biaya. Namun toh juga masih ada beberapa oknum yang memanfaatkan momentum pendaftaran, dengan mencari korban-korban lugu yang punya keinginan besar melihat anaknya berseragam dinas.
Kebanggaan menjadi abdi negara memang tak bisa dipungkiri pada struktur sosial masyarakat kita masih memiliki ruang dilapisan atas status penerima gaji, tunjangan dan uang pensiun kelak saat dia menua. Namun moral kita justru menjadi semakin miskin, jika ini terus menerus dirawat.
Sebahagian generasi kita, justru semakin diajarkan untuk tidak memiliki keberanian berjuang sendiri secara murni dan bersaing secara elegan dengan para kompetitornya dalam sebuah proses rekruitmen ASN, Polri ataupun di TNI.
Meskipun tak sedikit toh juga terbukti, ada yang berhasil lulus murni tanpa embel-embel bantuan oknum-oknum dengan penawaran nominal rupiah di angka tertentu. Mestinya anak-anak muda kita sedini mungkin dihindarkan dari perilaku nihil nilai ini. Sebab di masa mendatang, potensi merusaknya jauh lebih besar.
“Mungkin tak salah jika mindset sebahagian masyarakat kita harus kembali ke setelan awal pabrik layaknya Handphone baru. Semoga bulan ramadhan berhasil mereset ke setelan awal pabrik terhadap akal dan hati kita.”
Anshar Aminullah
Mereka berpeluang besar akan memikirkan bagaimana nantinya bisa kembali modal jika sudah berdinas nantinya. Bibit-bibit calon koruptur, nepotisme dan kolusi, pasti akan menjangkiti mereka dan akan menjadi perilaku yang sedikitpun tak membuat mereka merasa bersalah melakukannya saat menjadi pejabat.
Mindset di Reset PabrikĀ
Maka wajarlah, Erik Daeng Ngaya sangat resah dengan kemungkinan rusaknya bangsa ini atas kebiasaan berharap banyak menjadi abdi negara bermodal uang pelicin. Dia punya harapan besar, mindset sebahagian masyarakat kita ini dikembalikan ke setelan awalnya alias di reset pabrik ala hape android yang bawaannya sering hang-hang atau nge-freeze.
Supaya semuanya bisa berjalan alami, tanpa aplikasi tambahan yang justru berpotensi otak kita ketularan virus ataupun malware sehingga kinerjanya tak lagi lancar dan maksimal.
Untunglah ramadhan baru saja sebulan lalu telah kita jalani. Sehingga keyakinan kita bahwa tempaannya selama 30 hari akan mampu mengembalikan kita semua kembali ke setelan pabrik, yakni putih bersih tanpa instalasi program perusak akal sehat.
Menjadi fitrah dan menang atas kemampuan kita menyadari segala kekeliruan, bahwa uang pelicin dan orang dalam adalah kelemahan mendasar atas ketakyakinan kita terhadap potensi diri sendiri yang harus segera kita sadari.
Sehingga kedepan, generasi kita menjadi manusia-manusia yang matang, berhati damai dan berkepala dingin. Manusia yang punya kebesaran jiwa menuju kematangan dalam peradaban bangsa. Kamipun menutup diskusi itu dengan senyum lebar dari Erik Daeng Ngaya.
Oh iya, tambai kerupuk sama bakso kasarnya dulu Erik, sudah maumi juga adzan Isya di masjid.