Selebrasi Hardiknas: Jangan Stecu Saat Ijazah Disekap

4 minutes reading
Friday, 2 May 2025 14:01 0 1290 Anshar Aminullah
 

Bisa dibayangkan bagaimana murkanya Wamenaker kita, Immanuel Ebenezer Gerungan. Disaat melakukan sidak di UD. Sentosa milik Jwan Hwa Diana di Surabaya, dan di lokasi kedua berselang beberapa hari kemudian di Sanel Tour.

Berpakaian lengkap, didampingi oleh pejabat setempat bahkan dengan wakil rakyat turut membersamai.

Seolah di luar nurul, para karyawannya terlihat cuek-cuek tanpa peduli dan gentar sedikitpun saat mereka berhadapan dengan orang kedua di Kemeterian Tenaga Kerja.

Ditambah sikap para pemilik perusahaan ini yang nyaris tak bergemin saat Wamenaker meminta kejelasan perihal ijazah para mantan karyawan mereka yang ditahan oleh para pemilik perusahaan tersebut.

Nitizen bahkan menjudge bahwa backingan mereka pasti kuat sehingga tak mundur walau sejengkal dari sikap cuek dan arogannya.

 

Highlight Video “Hardiknas, Jangan Stecu Saat Ijazah Disekap” 

 

Sangat wajar Mas Noel murka, berstatus sebagai Wakil Menteri dan terlepas dari beberapa kontroversinya beberapa tahun terakhir, kedua perusahaan ini mestinya ingat, bahwa latar belakang masa lalu politisi ini juga pernah merasakan pahit getirnya perjuangan hidup sebagai driver ojek online.

Sehingga tak mengherankan jika sisi moralitasnya sangat terusik oleh ulah para majikan, yang terang-terangan melanggar prinsip keadilan kerja bagi para mantan karyawannya.

Abaikan prasangka bahwa ini pencitraan. Ini persoalan serius anak bangsa yang setiap hari dicekoki bahwa kita telah merdeka belajar, namun kenyataannya masih ada  beberapa diantara mereka yang ijazahnya tersimpan rahasia entah kemana di meja mbak HRD UD. Sentosa yang galak.

 

Pembiaran Sistemik? 

Dalam pendekatan Teori Konflik Karl Marx (1848) tentang ketimpangan kekuasaan antara pemilik modal (perusahaan) dan pekerja.

Spirit dalam pendekatan tersebut jika dikorelasikan pada aktivitas menyandera ijazah, ini adalah penegasan bentuk dominasi perusahaan atas pekerja yang menciptakan relasi kerja yang eksploitatif.

Dan  seyogyanya pemerintah harus hadir untuk membuat balance kekuasaan, serta melindungi para  pekerja dari praktik yang menindas.

Terasa masih sulit mendapatkan kepercayaan perusahaan para lulusan sekolah dan kampus kita di negeri ini.

Faktanya, ijazah mereka ditahan sebagai jaminan, seolah ijazah telah bertambah fungsi, yakni sebagai bukti kompetensi yang tiba-tiba menjadi alat menekan psikis saat bekerja dan saat memilih resign.

Mereka seolah tak mau mengakui produk sekolah dan kampus pada aspek kualitas moral serta kejujuran, dua hal yang selama ini telah diajarkan maksimal oleh para guru mulai dari jenjang SD, hingga bangku kuliah .

Tuduhan soal kekuatiran mereka akan mencuri barang-barang perusahaan sehingga mesti ada jaminan, adalah perilaku yang minim adab.

Apakah produktivitas dan ketakutan yang berlebihan terhadap para pekerja ini, merupakan suatu sikap perusahaan yang gemar menyekap ijazah menjadi sesuatu yang terus dibiarkan berlarut-larut?

Dan apakah kemakmuran perusahaannya jauh lebih penting daripada menjaga nilai-nilai yang semestinya diberi prioritas. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) semua stake holder yang perlu dicatat baik-baik.

Kebiasaan penyanderaan ijazah ini bisa jadi masih banyak terjadi di berbagai tempat, hanya saja ini masih belum terungkap. Ini menjadi tak elok, jika dibiarkan, sebab ini menyangkut masalah nilai dan moral yang terdegradasi di dunia kerja.

Urgensi bersikap tegas menjadi sangat penting, karena berpotensi menjadi stigma telah terjadi pembiaran secara sistemik, yang berimbas pada pekerja yang Ijazahnya  telah menjadi investasi yang terampas.

 

Selebrasi Tanpa Substansi

Peringatan Hardiknas tahun ini kita harapkan bisa mengembalikan fungsi kontrol sosial dalam sistem rekruitmen perusahaan. Ini penting oleh karena pekerja tersebut akan memutuskan apa yang akan dia jalani dalam sebagian sisa hidupnya.

Termasuk di dalamnya kontrol publik terhadap  butir-butir aturan yang dijadikan standar dalam internal sebuah perusahaan.

Perhatian khusus ini pada akhirnya akan menjadi lingkaran kontrol yang secara efektif, membatasi ruang lingkup kemungkinan gerak-gerik pengusaha dalam situasi khusus dengan membuat gerakan tambahan yang menyimpan dari regulasi resmi pemerintah.

Dengan demikian Hardiknas kali ini tak sekedar menjadi peringatan hari bersejarah dengan selebrasi tanpa substansi.

Hardiknas tak boleh hanya sekedar seremonial namun abai pada  keberpihakan nyata terhadap nasib para pelamar dan karyawan di dunia kerja. Toh juga semangat perjuangan para kaum pekerja di peringatan Hari Buruh 1 Mei kemarin masih terasa di hari ini geloranya.

Olehnya itu, pemerintah kita juga perlu lebih agresif dan sepenuh hati tanpa harus malu-malu bertindak tegas pada para pelanggar. Mereka tak boleh pasang style Stecu alias stelan cuek baru malu.

Yakni ketika para pekerja yang tersandera ijazahnya, sudah tak tahu kemana lagi harus mengadu,   dan situasi makin rumit saat para pihak terkait hanya bisa menjawab :

“Aduh adek bukan maksudku begitu, 

masalah Stecu terhadap ijazah 

bukan berarti tak mau bertindak, 

jual mahal dikit khan bisa, 

coba kasih effortnya saja, 

kalo memang cocok  bisa datang ke rumah.”

Aduh mama sayangeeee….!