Dalam kondisi alamiah dan keberuntungan yang kadang berpihak dan kadang tidak pada diaktivitas kita sebulan terakhir ini, mudik selalu menjadi kata yang mampu membentuk stimulus untuk melakukan satu jenis tindakan tertentu, yakni mewujudkannya. Apapun halangan dan rintangannya. Ini bukan hanya soal tradisi, ini soal penegasan kualitas cinta tanah asal dan kerinduan yang tak lekang oleh mekanisme dunia modern sekalipun.
Sisi historis kita akan teremajakan saat tradisi jelang lebaran ini dapat terealisasikan.
Mudik selalu memiliki nilai tersendiri. Dengan orientasi yang gamblang menuju sebuah kondisi inti dimana sanak saudara bisa berlebaran bersama, ziarah kubur bersama, sebelum kembali kekesibukan masing-masing saat masa arus balik mengharuskannya menjadi bagian didalamnya. Mudik dan balik sama-sama mengandung kriteria yang imanen bagi penilaian rasionalitas tindakan atau tatanan sosial masyarakat kita.
Meskipun dibeberapa kondisi, arus balik yang acapkali menciptakan persoalan sosial baru. Hadirnya orang-orang baru dari kampung ke kota besar guna mengadu nasib tak sedikit justru menjadi PR baru bagi pemerintah. Sekelompok orang yang memiliki potensi dan SDM khas dari kampung yang punya niatan memberikan konstribusi untuk menaikkan derajat ekonomi keluarga, meski pada akhirnya niatan tak seindah kenyataan dimana mereka mendapati fakta bahwa Kejamnya Ibu Tiri tak Sekejam ibukota. Tapi itu soal lain, mudik yah mudik, ngadu nasib di ibukota lain lagi urusannya.
Saat bermudik secara tak langsung proses-proses tradisionalisasi dan konsolidasi komunal terimplematasi.
Meminjam istilah Cak Nun, pada mudik genologis dan mudik teologis-historis ini tersisip sebentuk penemuan rohani, dimana jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antarkota, berduyung-duyung mendatangi kembali sumber sejarahnya.
Mudik Genologis-historis merupakan sebuah fenomena dilevel mikro. Dimana terjadi pola interaksi didalam masyarakat yang lebih kompleks atau pada skala yang luas.
Mudik genologis-historis merupakan perjalanan pada upaya peleburan diri kita kedalam sebuah sistem kekerabatan berdasarkan garis darah, ataupun garis pagar dan garis jalan di sekitar rumah yang kerap kita sebut sebagai tetangga.
Ini adalah semacam mendudukkan kembali posisi diri kita sebagai sesama makhluk sosial, yang memiliki kedudukan sama rata dihadapan Allah, dan pribadi yang selalu melibatkan faktor hablum minannas sebagai bagian tak terpisah pada perjalanan rohani sebelum mudik pasti menuju kampung yang dijanjikan Allah bernama akhirat.
Sementara Mudik Teologis adalah fenomena pada level Makro, dimana proses interaksi secara lebih luas dan mendalam antara pemudik, gejala alam dan Tuhan yang terepresentasikan dalam Spirit beribadah di bulan ramadhan. Mudik Teologis menjadi penegasan awal tentang posisi diujung finis pada aktivitas ritual sebulan dalam upaya penghapusan dosa-dosa sistemik dan dosa struktural kita selama ini melalui penghambatan sepenuh hati pada Ilahi.
Mudik teologis juga sebagai perjalanan bercakap dengan Allah. Dia adalah seni percakapan sehari-sehari antara seorang hamba dan Rabbnya di bulan ramadhan guna mengamankan tujuan akhir berupa keselamatan di akhirat sesudah tuntas urusan wara-wiri kita di dunia.
Mudik selalu akan menjadi kekuatan pengikat sosial yang sangat dibutuhkan saat kemajuan teknologi gadget tidak terbendung. Bahkan dunia virtual dan kedekatan berbasis media sosial berbagai platform belum mampu menyamai sensasi kebagian jatah makan kue kering lebaran yang gosong pemberian seorang ibu.
Itulah mungkin mengapa perlu membangkitkan sebuah internalisasi nilai-nilai gokil disetiap momentum jelang lebaran, bahwa Setinggi-tingginya sekolahmu, sebagus-bagusnya kontenmu, dan sebanyak-banyaknya followersmu, segeralah mudik dan kembalilah ke kampungmu untuk mengikat buras. Wallahu A’lam
Artikel ini telah dimuat di https://sulsel.herald.id/2022/05/01/di-antara-mudik-genologis-historis-mudik-teologis-dan-ikat-buras/