Pak Ogah, Solusi Ambigu Mengurai macet bagi penyebab kemacetan?

4 minutes reading
Tuesday, 22 Aug 2023 16:30 0 1285 Anshar Aminullah
 

Tak biasanya kawan saya menulis kekesalannya di akun media sosialnya. penyebabnya terlihat sepele namun cukup bikin baper. Doa dari seorang pak Ogah di Putaran U di salah satu ruas jalan cukup membuat kesal teman saya yang terkenal penyabar ini. “Terima Kasih, semoga tabrakan selalu”.

Kalimat doa yang disangkal sang pak Ogah namun terlanjur melekat sangat diingatan kawan saya ini. Mungkin banyak kasus serupa yang acapkali didapati oleh pengendara lain di tempat berbeda, meskipun tak semua pak Ogah memiliki kebiasaan negatif seperti ini. Tak sedikit juga yang berhati baik, namun kehadirannya di ruas jalan U Turn ini masih terasa ambigu kemanfaatannya dari kehadiran mereka yang mengambil sedikit tugas dari bapak polantas.

Tak jelas kapan bermula panggilan pak Ogah ini melekat pada mereka. Namun yang paling mendekati adalah dalam film boneka si Unyil, dimana karakternya digambarkan sebagai sosok pemalas dan sering menghabiskan waktunya di Pos Ronda. Karakter khas lainnya yang begitu melekat di hati penggemar film era 80-90an ini yakni kalimat saat minta duit dari siapapun yang lewat ‘Cepek dulu dong’ atau ‘gopek dulu dong’.

Sepertinya permintaan secara tak langsung duit cepek dan gopek inilah yang membuat ada kesamaan dengan para anak muda di putaran U dibanyak ruas jalan di kota Makassar.
Secuil kemarahan bercampur sedikit ketersinggungan dari kawan saya ini adalah hal yang lumrah meski sedikit berbeda.

Sebab kemarahannya ini adalah salah satu jenis tegangan radikal pada keberlangsungan dinamika manusiawi yang dimiliki karakter orang beradab. Sebab dia memilih untuk tak mempermalukan orang tersebut dan masih menyempatkan untuk memberikan nasehat berbentuk teguran.

Mungkin tak salah jika kita memang harus menyempatkan bersikap serius terhadap fenomena pak Ogah ini dengan tidak sekedar memperlakukannya sebagai sesuatu yang sambil lalu saja tanpa ada hubungan rasional dengan kerja hidup kita.
Ambigunya kebermanfaatan kehadiran mereka, dimana mereka merelakan diri bercapek-capek ria mengatur lalu lintas jalan bagi kemudahan dan keselamatan untuk kendaraan yang ingin berputar.

Tapi siapa yang bisa percaya sepenuhnya bahwa itu berjalan dengan baik tanpa berimplikasi pada kelancaran lalu lintas pengendara lainnya?
Minimnya ilmu dan pengetahuan mereka terhadap pola mengatur lalu lintas pengendara sesuai standar petugas resmi, ditambah ketidakenakan kita yang menjadi bagian pengendara yang mengikuti instruksi memutar, berbelok dari mereka jika tak memberikan receh ala kadarnya.

Ini justru menjadi sebuah siklus mata rantai penyebab mandeknya laju lancar kendaraan lainnya.
Beberapa diantara kita mungkin pernah mengalami dan menyaksikan secara langsung, terjebaknya kita dalam kemacetan panjang itu justru bersumber dari para pak Ogah ini. Dimana mereka berfokus pada kendaraan yang berpeluang berbagi rejeki, sementara kendaraan lain yang mengarah lurus justru tidak tergarap dengan baik yang pada akhirnya justru ini menjadi biang kemacetan.

Tak ada maksud untuk mematikan nafkah para pak Ogah, betapapun marah dan jengkelnya kita. Sebab bagaimana pun mereka juga masih memiliki etos kepribadian, harga diri serta falsafah hidup.
Kehadiran mereka serasa menggiring kita untuk temukan identifikasi serta kategorisasi penyebabnya serta boleh atau tidaknya mereka beraktivitas ditempat tersebut. Sebab jangan sampai kehadiran mereka justru menjadi penegas masih minimnya upaya maksimalisasi peran lembaga resmi yang memang punya tugas mengatur aktivitas lalu lalang kendaraan bermotor.

Dan mereka pun hadir sebagai bentuk responsif untuk menutup celah dari belum sempatnya orang yang wajib tugas mengatur lalu lintas.
Kehadiran pak Ogah juga jangan sampai sebagai kondisi konkret dan aktual dari suatu keadaan dimana anak-anak muda kita masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak, dan juga kesulitan bersaing oleh karena kemampuan minim SDM mereka. Yang pada akhirnya mereka dipaksa oleh keadaan untuk menyerah dengan nasib lalu aktivitas sebagai pak Ogah menjadi satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup.

Fenomena sosial ini juga bisa jadi mewakili salah satu gambaran para generasi muda kita dimasa mendatang. Sekelompok kaum muda yang hanya bisa memberikan sedikit tenaga mereka bagi yang punya kendaraan, sementara mereka harus bersabar untuk waktu yang tak terbatas perihal kapan mereka bisa memiliki fasilitas kendaraan layaknya orang-orang yang mampu membeli barang mahal.

Doa nyeleneh dari pak Ogah tadi juga jangan sampai adalah bentuk pemberontakan dalam jiwa mereka, bahwa mereka lelah dengan keadaan. Mereka sisa menunggu kapan mengangkat bendera putih untuk takluk dengan hidup, karena tak ada lagi hal yang bisa diandalkan kepada pemerintah yang segelintir diataranya justru terjebak memperkaya diri mereka sendiri lewat korupsi.

Kita juga tak boleh membiarkan pak Ogah yang dalam perspektif Cak Nun menjadi anak-anak sejarah yang jatah makan minum dan hak asasinya kita musnahkan. Karena kelak bisa jadi mereka akan berduyun-duyun datang untuk menuding, menagih bahkan mempermalukan kita dihadapan Allah Swt di hari akhirat kelak.
Yah sudahlah. biarkanlah peristiwa kawan saya tadi menjadi sebuah pelajaran bagi kita. Minimal mereka sudah saling memaafkan dalam diri masing-masing.

Selebihnya mari mengambil hikmah, bahwa hidup kita ini kadangkala harus seperti Daster. Meskipun terlihat Indah tapi dia gampang rusak oleh ketakcermatan kita dalam memperlakukan sesama. Dan Hidup itu harus selalu fleksibel, mudah dan tak rempong agar tetap nyaman dalam menjalani keseharian.

Artikel ini telah tayang sebelumnya di :
https://sulsel.herald.id/2022/07/17/pak-ogah-solusi-ambigu-mengurai-macet-bagi-penyebab-kemacetan/2/