Harmoni Eksistensial Hak dan Kewajiban atas Sikap Rasional dan Imanen

4 minutes reading
Wednesday, 23 Aug 2023 14:02 0 1286 Anshar Aminullah
 

Dalam sebuah tulisan Ali Shariati Dikisahkan, Habil akhirnya disingkirkan oleh Qabil. Alasannya sederhana. Habil mendahulukan kewajiban atas syarat awal yang harus dipenuhi dari sang bapak. Qabil justru terlebih dahulu mencak-mencak mengumbar soal haknya, dibanding kewajiban yang harus dia tunaikan.

Qabil merasa tersinggung, oleh karena persembahannya berupa seonggok Gandum busuk, tidak diterima dengan baik oleh sang bapak, Adam AS. Berbanding terbalik dengan saudaranya, Habil yang mempersembahkan hewan dengan kualitas terbaik, itu justru diterima.

Namun pada akhirnya, penerimaan itu malah menjadi awal malapetaka buat dia. Hidup Habil harus berakhir lebih awal oleh karna keserakahan saudaranya Qabil, yang hendak menguasai sesuatu yang dibangun dari ambisi dan egoisme personal.

Dalam kehidupan kita sekarang ini, jika dianalogikan, maka mungkin Habil mewakili wajah kelompok masyarakat yang tulus dan taat prosedural dalam sebuah aturan main. Sementara Qabil mewakili wajah kelompok ambisius, yang menempuh cara apapun agar bisa menyingkirkan saudaranya walau itu harus dengan cara yang kurang terpuji.

Perwujudan spirit perilaku Habil dan Qabil di dunia modern sekarang ini juga banyak ditemui dalam dunia kerja. Temanya tak jauh dari soal hak dan kewajiban.
Seringkali dalam keseharian, kita mendapati beberapa orang yang mendahulukan kewajiban dan menempatkan hak pada posisi dibelakang. Itu pakem yang kita dapati sebagai sebuah realitas sosial. Bahwa dahulukan apa yang menjadi tugas utama ditempatmu mengabdi dan mencari rejeki, walau itu dengan berbagai tantangan super berat.

Sebaiknya jangan menuntut berlebih soal hak, sebab urusan hak biasanya Tuhan mengambil bahagian didalamnya. Jika hambanya menunaikan kewajiban di tempat kerja dengan sepenuh hati, maka haknya di akhirat yang lebih dahulu dipenuhi oleh-Nya, lalu menyusul dimudahkan terpenuhinya hak dalam berbagai ruang di seluruh penjuru dunia.

Keadilan dan kemurahan Allah itu memang bonusnya selalu double bagi pribadi yang terpilih.
Tak usah berprasangka tak bakal kebagian balasan pemenuhan hak, toh agama juga berkali-kali mengingatkan, “setiap perbuatan pasti akan diberikan balasan, walau itu seberat biji sawi”. Termasuk juga didalamnya balasan bagi pribadi-pribadi yang menunaikan kewajibannya lalu menuntut haknya kemudian mengambil hak orang lain. Serta pada tiap pribadi yang tak pernah menunaikan kewajiban lalu datang menyabotase hak orang lain.

Lantas akal sehat yang bagian manakah yang telah kita gunakan, sehingga kadangkala kita merasa memiliki kuasa penuh untuk mengambil hak orang lain??
Seseorang yang memiliki kekuasaan dalam dunia kerja tempat hak dan kewajiban teraktualisasi, dapat dipastikan memiliki kemampuan finansial lebih. Kondisi ini yang biasanya memaksa pribadi penyabotase hak orang lain untuk harus mencium tangan pemilik kuasa.

Itu sebagai pertanda penghormatan semu agar kelanggengan jabatan dan posisinya tidak tergeser, atau bahkan mungkin hilang dalam barisan nama dan jabatan bernama struktural.
Ironisnya, perilaku ini tanpa disadari telah menjadikan pemilik kuasa tersebut secara diam-diam telah kita posisikan ibarat seperti dukun. Kita semua tahu bagaimana profesi dukun dan bagaimana agama menegaskan soal posisi sepaketnya perdukunan dan kemusyrikan.

Kadangkala pada dukun kita meminta karena kita ingin naik jabatan milik teman yang kita singkirkan. Ataukah kita mencium tangannya karena siapa tahu dosa-dosa lama kita menipu orang lain dan merusak sistem dapat dimaafkan. Praktek semacam inilah sehingga berkali-kali agama menegaskan, “jangan ke dukun”, karna itu bisa membuat engkau salah niat.

Prioritaskan kewajibanmu dan biarkan hakmu Allah yang ngatur. Tak usah berfikir menjadi orang yang hebat dan besar, berusahalah untuk menjadi orang yang bermanfaat. Niscaya bonusnya kamu akan menjadi besar oleh karna orang lain yang akan menyebutkan kalimat itu untukmu. Jadilah person yang kreatif, jangan mendahulukan eksistensimu karna itu akan berdampak pada rasa muak dihati orang sekelilingmu.

Mendahulukan kewajiban itu ibarat menanam, dan niat yang tulus-ikhlas adalah air dan pupuknya. Tak usah terlalu menanti hasil dari menanammu, sebab Islam pun menganjurkan untuk terus menanam. “Jika di tanganmu ada benih pohon dan besok adalah hari kiamat, maka tetap tanamlah pohon itu” (Hadits).
Harapan atas Hak itu ibarat memanen.

Biarkanlah asa terhadap hak itu menjadi ruang prerogatif Allah. Jadi sebaiknya jangan pernah nekad atau nyelonong memanen hasil menanam orang lain, sebab itu sama saja melecehkan hak mutlak Allah terhadap hambanya yang telah menunaikan kewajiban.
Wallahu A’lam