Ironi Uang Panaik : Diantara Fatwa dan Ruang Terlatih Patah Hati

5 minutes reading
Wednesday, 23 Aug 2023 11:47 0 1310 Anshar Aminullah
 

Tiba-tiba saja jagad maya sektor Celebes ramai berbincang. Biasa, masalah klasik dari tahun gajah hingga sekarang. Bermula dari seorang pemuda yang kedapatan mencuri batang besi dengan taksiran nilai diangka Rp.200 jutaan. Pria ini menurut saya punya nyali besar karena barang yang dicurinya adalah milik Kepolisian Daerah.

Tak pakai helm atau tak punya SIM saja kecepatan degup jantung kita kadang sudah di atas normal, itupun hanya sekedar melintas dekat-dekat dengan pos Polisi. Lha ini, barang milik markasnya aparat berani disikat.

Jika saya pada posisi pria tadi, ditambah dengan kondisi tanpa melalui permenungan sikap bathin, sikap pikiran dan jiwa pada sumbu kewajarannya, maka satu-satunya kekuatan yang menggerakkan saya untuk melakukan tindakan nekad tadi tak lain dan tak bukan hanya kekuatan Cinta. Dan benar adanya.

Cintanya terhadap sang pujaan hati terhambat oleh tingginya uang panaik dan keinginan menikah pada level yang cukup kuat, pada akhirnya menyebabkan lelaki tersebut mengambil alternatif berbau nekad, mencuri.

Ketakmampuan mencukupkan uang mahar (panaik) dan melakukan tindakan kriminal menjadi semacam tindakan spontanitas-terstruktur di era Artificial Intelligence ini. Beda kondisi dan responsifnya saat saya masih SD dulu.

Sebuah kampung di salah satu pelosok desa perbatasan Kabupaten Gowa dan Takalar. Acapkali Silariang (kawin lari) menjadi alternatif spontanitas-terstruktur bagi sepasang kekasih yang tak kunjung mendapat restu.

Ini adalah fakta sosial dan berstatus melawan norma keluarga. Pada kondisi ini, siri’ (malu) telah menegaskan dirinya sebagai pilihan utama di dalam keluarga si perempuan. Dimana bagi si Pria bayarannya adalah darah bahkan nyawa.

Dan si Wanita adalah terbuang dari keluarga dengan dianggap sudah mati (ni pa’tumateang). Silariang adalah akumulasi dari ketakmampuan mencari solusi terbaik menuju pernikahan yang resmi dilingkup kedua keluarga.

Silariang dan kasus nekadnya pria tadi mencuri adalah klimaks dari pengembangan peran-peran ‘menyimpang’, termasuk si pria tadi selaku orang yang tak mampu beradaptasi terhadap tekanan psikis rasa cintanya yang terancam kandas.

Majelis Ulama Indonesia Sulsel pun merespon. Rencananya akan melaksanakan Focus Group Discussion dengan menghadirkan berbagai stake holder guna membahas fenomena uang mahar. Tegas dan lugas ungkap MUI Sulsel :
“Dengan pertimbangan dalil nantinya kita harapkan terjadi kemudahan dan kemaslahatan bersama di masyarakat terutama tentang uang panai.

Intinya kita berupaya untuk menciptakan kemudahan dan kemaslahatan di masyarakat,” (Website MUI Sulsel). Salah satu spirit dari keinginan MUI di atas yakni dari kasus yang yang menimpa pria pencuri besi tadi.

Tak bermaksud mengkritik akan keinginan tersebut. Karena bisa jadi memunculkan polemik baru yang berlebihan dan dramatis. Beberapa peristiwa yang bersifat kasuistik memang kadang diinterpretasikan ke sisi tertentu. Lalu kemudian diakumulasikan namun tetap saja berpeluang subjektif dan terbiaskan substansi masalahnya.

Ada banyak varian argumentasi terkait mahalnya uang panaik ini. Masing-masing mengklaim menyentuh hakikat terdalam pada perspektif mereka yang disesuaikan dengan kapasitas berfikir, refleksi dan tindakan dalam domain masalah seputar uang panaik.

Ada yang menuduh bahwa kehadiran uang panaik telah mencampur adukkan gengsi, strata sosial dan aspek religiusnya. Dengan takaran yang tentunya lebih didominasi pada kepentingan strata sosial. Di lain sisi, ada yang berargumen, bahwa sisi religius harus lebih utama.

 

“Jika kemudian MUI berinisiatif akan masuk mengatur melalui sebuah regulasi berdasarkan subjektivitas dari beberapa kasus, ini mesti dipertimbangkan secara mendalam. Sebab berpotensi melahirkan polemik baru yakni tercerabutnya Sulsel dari akar budaya. Atau mungkin perlu tradisi uang panaik ini melakukan adaptasi dengan kemajuan peradaban ummat di era digital.”  Anshar Aminullah

 

Jangan mengedepankan hal-hal yang tidak diatur dan tidak dicontohkan dalam agama, itu bisa mengarah bi’dah alias kreativitas dalam beribadah.

Hingga akhirnya, upaya berulang-ulang pemaknaan uang panaik tetap akan menguras energi berlebih jika terus menerus kitab telusuri pergulatan-pergulatan filosofisnya dalam sebuah teks dan konteks baku.

Ini tak akan pernah tuntas terjawab. Bahkan mudah sekali tergelincir dalam risalah-risalah yang justru kehilangan tujuan dari tradisi uang panaik berbasis kekayaan budaya dan kearifan lokal di Sulawesi Selatan.

Atau mungkin sebaiknya kita melakukan restrospeksi nilai-nilai uang panaik dalam era digital sekarang ini.

Kita perlu akui, bahwa uang panaik telah menjadi simbol keteguhan dan keseriusan seorang pria kepada wanita yang akan dipersuntingnya. Ini adalah satu bentuk kesadaran kolektif yang dibangun dalam lingkup lintas etnik di Sulsel maupun Sulbar sejak ratusan tahun lalu.

Jika kemudian MUI berinisiatif akan masuk mengatur melalui sebuah regulasi berdasarkan subjektivitas dari beberapa kasus, ini mesti dipertimbangkan secara mendalam.

Sebab berpotensi melahirkan polemik baru yakni tercerabutnya Sulsel dari akar budaya. Atau mungkin perlu tradisi uang panaik ini melakukan adaptasi dengan kemajuan peradaban ummat di era digital.

Misalkan saja adanya tingkat kompromitas dua kubu keluarga yang lebih dielastiskan, bahwa suksesnya pernikahan kedua mempelai adalah tujuan utama dan diatas segalanya.

Keinginan MUI Sulsel mengeluarkan fatwa terkait uang panaik ini berpeluang menjadi multi tafsir pada pertimbangan efek sosial kemasyarakatan kita. Tetap kita sambut baik saja niatan baiknya.

Namun biarlah uang panaik ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pria etnik Bugis maupun Makassar dan etnik lainnya di Sulsel. Bahwa kita para pria Bugis dan Makassar adalah para pria yang tidak pernah takut ditinggal tanpa alasan dan bertepuk sebelah tangan.

Apapun alasannya, nominal uang panaik dari pembicaraan awal direncana pernikahan adalah pertaruhan harga diri akan keseriusan kita terhadap pujaan hati, meski terluka itu pasti, namun berjuang untuk pemenuhan nominalnya adalah tantangan tersendiri.

Sebab kita-kita para Pria Bugis dan Makassar pantang mundur sebelum berjuang, “kualleangangi tallanga na toalia” .
Jika pada akhirnya uang panaik menjadi penyebab dari tak berjodohnya kita dengannya, biarkan dia menjadi mantan terindah yang ‘gugur’ dalam perjuangan cinta kita.

Setidaknya kebanggaan kita sebagai seorang pejuang cinta telah tertunaikan. Dan yang tak kalah penting adalah bahwa kita akan menjadi para Pria yang dewasa dalam sikap, dan sebagai sosok pria matang karena telah terlatih patah hati.

Artikel ini juga telah tayang lebih awal di :

https://sulsel.herald.id/2022/06/14/ironi-uang-panaik-di-antara-fatwa-dan-ruang-terlatih-patah-hati/